biodata admin,,,,,,!!!

                     kenalkan nama admin Wibi Handika Ramadhan,,ane cowok tulen,,,,ane lahir pada tanggal 25 desember 1999,,,alamat rumah ane di Gunungan,RT;04/26,Pleret,Pleret,Bantul,DI Yogyakarta,,sekolah ane di SMP NEGERI 5 Jogja,walaupun ane lahir pas hari natal,,tapi ane tetep 100% islam……hobi ane main gitar sama olahraga bro,,,,,gimana biodata ane,,,,yg mau smsan ato ngapain sms aja ke 085291816716,,,,hehehe…….Jangan lupa follow twitter ane yee @sakarep_mu !!!!ane tunggu followmu!!!

Artikel Tentang Yogyakarta

Daerah Istimewa Yogyakarta (atau Jogja, Yogya, Yogyakarta, Jogjakarta dan seringkali disingkat DIY) adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di bagian selatan Pulau Jawa dan berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah di sebelah utara. Secara geografis Yogyakarta terletak di pulau Jawa bagian Tengah. Daerah tersebut terkena bencana gempa pada tanggal 27 Mei 2006 yang mengakibatkan 1,2 juta orang tidak memiliki rumah.
Provinsi DI. Yogyakarta memiliki lembaga pengawasan pelayanan umum bernama Ombudsman Daerah Yogyakarta yang dibentuk dengan Keputusan Gubernur DIY. Sri Sultan HB X pada tahun 2004.

sejarah
Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sebuah provinsi yang berdasarkan wilayah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman. Selain itu ditambahkan pula mantan-mantan wilayah Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Praja Mangkunagaran yang sebelumnya merupakan enklave di Yogyakarta.
Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta dapat dirunut asal mulanya dari tahun 1945, bahkan sebelum itu. Beberapa minggu setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, atas desakan rakyat dan setelah melihat kondisi yang ada, Hamengkubuwono IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945 . Isi dekrit tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Dekrit dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Paku Alam VIII pada hari yang sama. Dekrit integrasi dengan Republik Indonesia semacam itu sebenarnya juga dikeluarkan oleh berbagai monarki di Nusantara, walau tidak sedikit monarki yang menunggu ditegakkannya pemerintahan Hindia Belanda setelah kekalahan Jepang.
Pada saat itu kekuasaan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat meliputi:
Kabupaten Kota Yogyakarta dengan bupatinya KRT Hardjodiningrat,
Kabupaten Sleman dengan bupatinya KRT Pringgodiningrat,
Kabupaten Bantul dengan bupatinya KRT Joyodiningrat,
Kabupaten Gunungkidul dengan bupatinya KRT Suryodiningrat,
Kabupaten Kulonprogo dengan bupatinya KRT Secodiningrat.
Sedangkan kekuasaan Kadipaten Pakualaman meliputi:
Kabupaten Kota Pakualaman dengan bupatinya KRT Brotodiningrat,
Kabupaten Adikarto dengan bupatinya KRT Suryaningprang.
Dengan memanfaatkan momentum terbentuknya Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta pada 29 Oktober 1945 dengan ketua Moch Saleh dan wakil ketua S. Joyodiningrat dan Ki Bagus Hadikusumo, maka sehari sesudahnya, semufakat dengan Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta, Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII mengeluarkan dekrit kerajaan bersama (dikenal dengan Amanat 30 Oktober 1945 ) yang isinya menyerahkan kekuasaan Legeslatif pada Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta. Mulai saat itu pula kedua penguasa kerajaan di Jawa bagian selatan mengeluarkan dekrit bersama dan memulai persatuan dua kerajaan.
Semenjak saat itu dekrit kerajaan tidak hanya ditandatangani kedua penguasa monarki melainkan juga oleh ketua Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta sebagai simbol persetujuan rakyat. Perkembangan monarki persatuan mengalami pasang dan surut. Pada 18 Mei 1946, secara resmi nama Daerah Istimewa Yogyakarta mulai digunakan dalam urusan pemerintahan menegaskan persatuan dua daerah kerajaan untuk menjadi sebuah daerah istimewa dari Negara Indonesia. Penggunaan nama tersebut ada di dalam Maklumat No 18 tentang Dewan-Dewan Perwakilan Rakyat di Daerah Istimewa Yogyakarta (lihat Maklumat Yogyakarta Nomor 18 Tahun 1946 ). Pemerintahan monarki persatuan tetap berlangsung sampai dikeluarkannya UU No 3 Tahun 1950 tentang pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta yang mengukuhkan daerah Kesultanan Yogyakarta dan daerah Paku Alaman adalah bagian integral Negara Indonesia.

etimologi

Wilayah yang kemudian menjadi keraton dan ibukota Yogyakarta telah lama dikenal sebelum Sultan Hamengkubuwono I memilih tempat itu sebagai pusat pemerintahannya. Wilayah itu dikenal dalam karya sejarah tradisional (Babad) maupun dalam leluri dari mulut ke mulut. Babad Giyanti mengisahkan bahwa Sunan Amengkurat telah mendirikan dalem yang bernama Gerjiwati di wilayah itu. Kemudian oleh Paku Buwana II dinamakan Ayogya.[5] Secara etimologis Ngayogyakarto Hadiningrat berasal dari kata Ayu – Gya – Karto atau Ayodya – Karto – Ning – Rat. Harimurti Subanar, UGM, mendiskripsikan : Nga = Menuju; Yogya = Sebaik – baiknya; Karta = Bekerja/Makarya; Hadi = Agung, Luhur; Ning = Bening, Jernih, Suci; Rat = Jagat, Bawono; Jagad kecil adalah manusia dan jagad besar adalah semesta alam. Secara filosofis makna Ngayogyakarto adalah hakekat, gegayuhan atau tujuan hidup untuk menciptakan kebahagiaan dunia akherat & negeri yang Baladil Amin (Adil & Amanah).
Wilayah kerajaan ini didirikan di Pesanggarahan Garjitowati, Tlatah Pacetokan, Alas Bering, yang berada diantara dua sungai, yaitu : Sungai Winongo dan Sungai Code. Komplek Kraton terletak ditengah – tengah dan berada pada as-kosmis, dari utara terdapat garis lurus dengan Tugu dan Gunung Merapi dan dari Selatan simetris dengan Panggung Krapyak dan laut selatan.
Luas Kraton Yogyakarta 14.000 meter persagi, yang didalamnya terdapat 22 macam bentuk bangunan dan fungsinya yang dilandasi nilai – nilai filosofis, Kraton dibangun pada tahun 1756 dengan condrosengkolo memet : “Dwi Naga Rasa Tunggal”.
Kraton memiliki Plengkung atau Gerbang utama yang masing masing memiliki nama – nama tersendiri, memiliki benteng tinggi mengelilingi Kraton dan empat beteng pengintai disetiap sudutnya. Jumlah jalan keluar masuk ada 9 jalan, dan 5 jalan yang bertemu dialun – alun, Corak pembentukan kota Yogyakarta pada hakekatnya merupakan implementasi dari konsep P. Mangkubumi 1755, yang berdasarkan pada bentuk tata tubuh manusia dimana Yogyakarta terbagi dua wilayah, bagian selatan merupakan simbul rohani dan bagian utara merupakan simbol duniawi.
Bangunan Kraton Yogyakarta sebelah Utara terdiri dari : Kedhaton / Prabayekso, Bangsal Kencana, Regol Danapratapa / Pintu Gerbang, Bangsal Sri Manganti, Regol Sri Manganti, Bangsal Ponconiti, Regol Brajanala, Siti Hinggil, Tarub Agung, Pagelaran (tiangnya 64), Alun – alun utara (jumlah pohon 62, angka 62 + 64 menggambarkan usia rasulullah tahun Masehi dan tahun Jawa), Pasar Beringharjo, Tugu. Sebelah Selatan : Regol Kemagangan, Bangsal Kemagangan, Regol Gadung Mlati, Bangsal Kemandungan, Regol Kemandungan, Sasana Hinggil, Alun – alun Selatan, Krapyak.

budaya

Yogyakarta masih sangat kental dengan budaya Jawanya. Seni dan budaya merupakan bagian tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Yogyakarta. Sejak masih kanak-kanak sampai dewasa, masyarakat Yogyakarta akan sangat sering menyaksikan dan bahkan, mengikuti berbagai acara kesenian dan budaya di kota ini. Bagi masyarakat Yogyakarta, di mana setiap tahapan kehidupan mempunyai arti tersendiri, tradisi adalah sebuah hal yang penting dan masih dilaksanakan sampai saat ini. Tradisi juga pasti tidak lepas dari kesenian yang disajikan dalam upacara-upacara tradisi tersebut. Kesenian yang dimiliki masyarakat Yogyakarta sangatlah beragam. Dan kesenian-kesenian yang beraneka ragam tersebut terangkai indah dalam sebuah upacara adat. Sehingga bagi masyarakat Yogyakarta, seni dan budaya benar-benar menjadi suatu bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka. Kesenian khas di Yogyakarta antara lain adalah kethoprak, jathilan, dan wayang kulit.yogyakarta juga dikenal dengan perak dan gaya yang unik membuat batik kain dicelup. ia juga dikenal karena seni kontemporer hidup. Memberikan nama kepada anak masih merupakan hal penting Nama2 anak jawa. Yogyakarta juga dikenal dengan gamelan musik, termasuk gaya yang unik gamelan yogyakarta

Mengapa Yogyakarta Disebut Kota Pelajar?

Sekian lama Kota Yogyakarta yang kaya akan kultur budaya ini disebut-sebut sebagai ‘kota pelajar’. Banyak insan-insan yang berasal dari luar Daerah Istimewa Yogyakarta sengaja datang ke propinsi ini untuk mengenyam pendidikan di segala tingkatan, dari sekolah dasar, sekolah atas, maupun perguruan tinggi. Kualitas pendidikan di kota yang nyaman ini memang tergolong baik dan kompeten baik di tingkat nasional maupun internasional. Buktinya saja begitu banyak para pelajar di instansi-instansi pendidikan berlokasikan Daerah Istimewa Yogyakarta yang menjuarai berbagai olimpiade dan kompetisi baik tingkat nasional hingga internasional sekalipun. Sebuah prestasi yang memang patut dibanggakan mengingat gencarnya pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia menghendaki generasi-generasi penerus bangsa yang berkualitas dan memiliki daya saing.

Java-Yogyakarta-Jogja-Indonesia.jpg
 

Membicarakan tentang pelajar, meskipun berprestasi, tidak terpungkiri juga bahwa pelajar daerah berhati nyaman ini tidak luput dari tindakan-tindakan negatif yang dapat mencoreng nama Yogyakarta dari sebutan kota pelajar. Misalnya saja vandalisme yang kerap terjadi di sudut-sudut kota yang sesungguhnya indah dan bersih karena dijaga oleh masyarakat. Sudut-sudut kota ini namun pada akhirnya tak lagi indah, melainkan malah mengiritasi mata para insan yang memandangnya karena tindakan para pelajar yang semrawut. Berbagai macam tindakan vandalisme yang mereka lakukan, seperti mencoret-coret tembok warga atau rambu-rambu petunjuk lalu lintas, kerap kali menyulut emosi dari warga sekitar.

cimg0738.jpg
 

 

Tidak hanya sebatas vandalisme biasa, yang mereka lakukan berpotensi besar menyebabkan masalah yang jauh lebih pelik yakni perkelahian dan tawuran. Pasalnya, kerap kali mereka melakukan aksi mencoret-coret tembok warga di suatu daerah dengan menyertakan nama geng yang mereka ikuti. Vandalisme semacam ini pada umumnya dilakukan untuk menunjukkan wilayah kekuasaan geng-geng sekolah maupun geng-geng bebas yang saling berkompetisi satu sama lain. Misalnya saja seorang pelajar menuliskan nama geng yang dia ikuti di suatu wilayah, misalnya saja geng ABC, kemudian ada geng lain yang merasa bahwa wilayah itu adalah wilayahnya, pelajar dari geng lain tersebut kemudian akan mencoret nama geng ABC yang pertama kali menuliskan namanya di wilayah tersebut dan menuliskan gengnya sendiri di sana, misalnya DEF. Apabila geng ABC mengetahui bahwa nama gengnya dicoret oleh geng DEF dan amarah dari geng ABC tersulut, maka akan terjadi perkelahian untuk memperebutkan wilayah tersebut antara geng ABC dan geng DEF. Seperti drama klasik di setiap penjuru daerah, geng yang memenangkan perkelahian akan dianggap lebih berkuasa.

wall-vandal.gif
 

 

Tindakan balas dendam dan ‘kroyokan’ juga masih menjadi budaya geng-geng yang berseteru. Kebiasaan ‘klithih’ atau ‘pencegatan’ masih kerap ditemui di titik-titik tertentu Daerah Istimewe Yogyakarta. Pencegatan inilah yang selalu dicemaskan, bukan hanya bagi anggota geng, namun juga para pelajar biasa. Misalnya saja geng ABC kian berseteru dengan geng DEF. Misalnya saja geng ABC adalah geng yang terdiri dari pelajar SMA ABC. Geng DEF akan melakukan tidakan ‘pencegatan’ kepada setiap pelajar SMA ABC yang mereka temui dan melakukan introgasi kepada pelajar tersebut, apakah dia anggota dari geng atau bukan. Apabila diketahui dia anggota geng, maka dia akan menjadi bulan-bulanan geng DEF. Tidak jarang juga geng tersebut akan meminta seragam sekolah korban mereka secara paksa sehingga si korban pulang tanpa seragam sekolah. Seragam tersebut biasanya disimpan sebagai ‘bukti’ mereka mem-bully salah satu siswa dari sekolah musuh. Namun kini terasa sedikit lebih melegakan setelah pemerintah Kota Yogyakarta menyamakan tulisan pada badge lokasi seragam setiap pelajar sekolah negeri di Kota Yogyakarta, dari yang sebelumnya tertulis misalkan “SMA Negeri …” kini seluruhnya tertulis “Pelajar Kota Yogyakarta”.

tawuran-sma-smk4.jpg
 

 

Selain vandalisme, seperti pada postingan sebelumnya “ABG Undercover: Smoke, Sex, Sozzled”, telah banyak disinggung juga bahwa banyak kalangan pelajar yang terjerumus ke hal-hal sesat yang sangat beresiko terhadap kehidupan mereka sendiri. Beberapa pelajar melakukan tindakan-tindakan yang menyalahi aturan baik sekolah maupun negara diluar kegiatan belajar-mengajar yang mereka ikuti secara rutin. Kualitas pelajar yang seperti ini sungguh sangat dipertanyakan. Mereka yang sebenarnya pintar dan berpotensi menjadi tersia-siakan. Rokok kerap kali men-trigger gangguan kesehatan tubuh mereka. Alkohol dapat berdampak negatif baik bagi kesehatan tubuh mereka ataupun kinerja otak mereka. Hubungan seks di bawah batasan umur yang sesuai juga dapat berdampak buruk pada organ reproduksi. Belum lagi narkoba yang dapat seketika menghentikan pertumbuhan otak para pelajar. Tak jarang penyebab para pelajar mengkonsumsi barang-barang haram ini berasal dari pengaruh pergaulan dengan geng-geng yang mereka ikuti. Kerap ditemukan adanya ‘bandar’ yang beroperasi di dalam geng-geng bebas maupun sekolah. Hal ini tidak hanya menjadi masalah di Kota Yogyakarta, namun telah menjadi masalah umum di kota-kota terkemuka seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya.

Hal ini sangat memprihatinkan mengingat sosok pelajar yang seharusnya lebih mencondongkan diri untuk menuntut pendidikan namun malah mengikuti organisasi-organisasi negatif dan ikut serta dalam perusakan fasilitas umum sekaligus perusakan diri mereka sendiri. Maka masih pantaskah Kota Yogyakarta disebut sebagai ‘kota pelajar’ dengan keadaan para pelajar yang terancam bahaya ini?